PENDAHULUAN
Infrastruktur Data Spasial (IDS) merupakan sebuah usaha terkoordinasi
untuk memfasilitasi pencarian, tukarguna, berbagi, pemanfaatan data dan
informasi geospasial oleh para pengguna data spasial. Infrastruktur Data
Spasial diselenggarakan pada level lokal, nasional, regional dan global untuk
berbagai keperluan misalnya untuk mendukung pembangunan berkelanjutan dan tata
kelola pemerintahan melalui kesepakatan‐kesepakatan dalam pengaturan
dan pemanfataan standar teknologi, kebijakan, dan institusi yang kompeten. Saat
ini di Indonesia secara resmi menggunakan istilah Infrastruktur Informasi
Geospasial (IIG), dimana memiliki pengertian yang sama dengan Infrastruktur
Data Spasial.
Data dan Informasi geospasial berperan penting dalam pengambilan
keputusan. Pengambilan keputusan yang melibatkan informasi geospasial tidak
hanya bidang keteknikan, tetapi aspek ekonomi, lingkungan, politik, dan sosial
juga memerlukan (McDougall, Rajabifard, dkk., 2005b). Sekitar 80% kegiatan yang
dilakukan pemerintah daerah melibatkan komponen spasial (O'Looney, 2000)
misalnya, dibidang kebencanaan, pemerintah daerah dapat mengurangi resiko
bencana dengan menggunakan data geospasial untuk menyusun mitigasi bencana
(Sutanta, Bishop, dkk., 2010a; The Incheon Declaration, 2009).
Pembangunan Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN) yang merupakan
misi survei dan pemetaan nasional dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
mendasar yang berkaitan dengan survei dan pemetaan di Indonesia. Salah satu
permasalahannya adalah belum tersedianya suatu sistem yang dapat memberikan
informasi tentang ketersediaan data spasial yang dapat diakses dengan mudah
oleh para pengguna data. Kita sepakati bersama bahwa terpeliharanya data dan
informasi spasial nasional akan memberikan dampak dalam optimalisasi
pemanfaatan data spasial yang telah diproduksi oleh berbagai instansi
pemerintah dan swasta baik di tingkat pusat maupun daerah. Oleh karena itu,
perlu dipertimbangkan pembangunan suatu sistem yang dapat menangani pengelolaan
data dan informasi spasial sehingga pemanfaatan produk data spasial tersebut
dapat lebih ditingkatkan secara efisien, efektif, dan terpadu.
Indonesia termasuk negara yang masuk dalam kategori pengadopsi awal
konsep Infrastruktur Data Spasial (IDS) (Masser, 1998). Implementasi IDS selalu
diawali dengan pemanfaatan data geospasial yang intensif dan meluas menggunakan
Sistem Informasi Geospasial (SIG). Inisiatif Infrastruktur Data Spasial
Nasional (IDSN) terintis sejak tahun 2000. Namun demikian, kemajuan yang bersifat kelembagaan
tampak belum cukup baik. Pemanfaatan SIG, baik dalam konteks individu instansi
ataupun dalam konteks Infrastruktur Data Spasial belum tersebar secara meluas
dan dalam tingkat implementasi yang seragam.
Melihat perkembangan Infrastruktur Data Spasial di Indonesia saat ini terlihat cukup lambat apalagi kita sebagai pengadopsi awal konsep Infrastruktur Data Spasial, seharusnya pengimplementasian IDS sudah lebih dari 50% seluruh Indonesia. Berdasarkan hal tersebut sangat diperlukan pembahasan mengenai Sejarah Pembangunan IDS di Indonesia agar menegaskan bahwa Indonesia sebagai pengadopsi awal konsep Infrastruktur Data Spasial dan tentunya mengetahui sejarah perkembangan Infrastruktur Data Spasial dari awal hingga saat ini.
PEMBAHASAN
Proses akuisisi, penyediaan, penggunaan, tukar guna, dan perawatan data
geospasial merupakan kumpulan proses yang mahal dan kompleks. Visi ”created
once, used many times” di dunia geospasial mulai digemakan sejak akhir dekade
1970‐an. Pada saat itu otoritas Badan Survei Pemetaan Nasional di berbagai
negara menghadapi masalah dengan minimnya koordinasi dan standardisasi
pengumpulan dan penggunaan Data Geospasial. Koordinasi dan standarisasi
diperlukan untuk menekan biaya pekerjaan survei pemetaan sehingga pekerjaan
yang tumpang tindih dan tidak perlu
dapat dihindari. Tiga dekade kemudian, inisiatif ini dikenal sebagai
Infrastruktur Data Spasial. (Petunjuk Teknis Pembangunan Simpul Jaringan, 2014).
Dimulai sejak tahun 1980‐an di Kanada
(Groot and McLaughlin, 2000), kebutuhan akan tukar guna data antar institusi
secara vertikal dan horizontal telah mendorong terwujudnya inisiatif penyediaan
mekanisme akses dan guna data geospasial yang terkoordinasi. Sejak pertengahan
1990‐an, inisiatif Infrastruktur Data Spasial (baik lokal, nasional, maupun
regional) sudah dikembangkan menjadi agenda nasional di lebih dari 100 negara
(Crompvoets and Bregt, 2006). Selain manfaat tukar guna data dan dari sisi
ekonomi, dengan adanya IDS kemungkinan untuk berbagi ongkos produksi dan
perawatan, serta berkurangnya redundansi data menjadi lebih mudah diwujudkan.
Salah satu elemen utama dari IDSN
masing-masing negara adalah clearinghouse
(Crompvoets dkk, 2002). Sejak tahun 1994 perkembangan dalam pelaksanaan clearinghouse atau geoportal sangat
cepat terjadi di seluruh dunia. Global
Spatial Data Infrastructure Association (GSDI) merupakan sebuah organisasi,
lembaga, perusahaan, dan individu dari seluruh dunia yang mempromosikan
kerjasama internasional dan kolaborasi dalam mendukung pembangunan infrastruktur
data spasial lokal, nasional, dan internasional yang akan memungkinkan negara
dan warga negara mereka untuk menangani masalah-masalah sosial, ekonomi, dan
lingkungan. Diharapkan dengan adanya GSDI perkembangan IDS secara global dapat
dijalankan dengan baik.
Inisiatif Infrastruktur Data Spasial
Nasional (IDSN) terintis sejak tahun 2000, melalui badan pemerintahan yang
bertanggung jawab mengenai survey dan pemetaan nasional ketika itu yang bernama
Badan Koordinator Survey dan Pemetaan Nasional (Bakorsurtanal), dimana lembaga
ini telah diamandemen berdasarkan UU No.4 tahun 2011 mengenai Informasi
Geospasial menjadi Badan Informasi Geospasial (BIG). Pada tahun 2000, Bakorsurtanal
melakukan Rapat koordinator Nasional (Rakornas) yang menghasilkan visi
“Menciptakan Inisiatif Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN) yang andal di
Indonesia”. Selanjutnya pada 25-26 Juni 2007 di Jakarta berlangsung Rapat
Koordinasi Nasional Infrastruktur Data Spasial Nasional (Rakornas-IDSN).
Inisiatif Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN) di Indonesia ini tidak
terlepas dari penyelenggaraan spatial data sharing yang diinisiasi
oleh Federal Geographic Data Committee
(FGDC) pada tahun 1994 di Amerika melalui The
USA Executive Order yang dikeluarkan oleh Presiden Amerika Bill Clinton
ketika itu. Permasalahan yang dialami oleh Amerika saat itu adalah tersebarnya
data spasial pada berbagai institusi, baik pemerintahan maupun lembaga swasta
ataupun perseorangan mengakibatkan sulitnya memperoleh akses data spasial yang
diinginkan.
Walaupun inisiasi Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN) di
Indonesia dilakukan tahun 2000, namun aksi nyata keseriusan pemerintah terhadap
kepedulian akan pentingnya sharing
data spasial untuk pembangunan baru terlihat pada tahun 2007 dengan
dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 85 tahun 2007 tentang Jaringan Data
Spasial Nasional (JDSN), dimana setelahnya terdapat amandemen dengan
dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 27 tahun 2014 tentang Jaringan Informasi
Geospasial Nasional (JIGN). Tahun 2007 BIG masih dengan nama Bakosurtanal
menerima mandat dari pemerintah untuk mengkoordinasikan pengembangan Ina-SDI (Infrastruktur
Data Geospasial Indonesia). Saat itu model operasional Ina-SDI akan
diaktualisasikan dalam waktu dua tahun di bawah Ina-SDI Proyek Pengembangan. Model
ini dimaksudkan untuk menetapkan kebijakan operasional interoperabilitas data
dasar geospasial, peningkatan kapasitas, dan mode jaringan interkoneksi diantara
Lembaga Pemerintah. Langkah maju keseriusan ini terjadi salah satunya setelah
Indonesia mengalami bencana nasional bertubi-tubi, yaitu : bencana tsunami Aceh
pada tanggal 26 Desember 2004 dan gempa bumi Yogyakarta pada tanggal 27 Mei
2006. Disaat itu, pemerintah Indonesia melalui Bakorsurtanal dan BPN
bekerjasama dengan LSM-LSM yang bergerak di bidang pengelolaan sistem informasi
data spasial melakukan pemetaan ulang kepemilikan tanah dan bangunan korban
bencana. Secara umum, Bakorsurtanal, BPN, dan LSM-LSM ini mengalami kesulitan
pemetaan dikarenakan rekam jejak data spasial tersebut banyak yang hilang.
Kejadian tersebut menyadarkan pemerintah Indonesia akan pentingnya sharing data spasial.
Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN) yang merupakan misi survei
dan pemetaan nasional dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan
mendasar yang berkaitan dengan survei dan pemetaan di Indonesia. Pembangunan clearinghouse atau geoportal yang
merupakan bagian dari IDSN di Indonesia ditangani oleh pemerintah melalui Badan
Informasi Geospasial (BIG). Geoportal di Indonesia diberi nama Ina-Geoportal
(Indonesia-Geospatial Portal). Ina-Geoportal adalah Portal Geospasial Indonesia
yang dibangun dengan partisipasi berbagai kementerian dan lembaga serta
pemerintah daerah di Indonesia. Ina-Geoportal diluncurkan pada tanggal 17
Oktober 2011 dalam acara Geospasial untuk Negeri oleh BIG di Sasana Budaya
Ganesha, Institut Teknologi Bandung. Sedangkan pengertian geoportal itu sendiri
adalah portal khusus yang berhubungan dengan layanan pencarian dan penggunaan
data spasial melalui media internet.
Hingga saat ini proses pengembangan pembangunan Infrastruktur Data Spasial Nasional terus dilakukan dari tingkat daerah hingga pusat. Seperti yang kita ketahui tahun 2013 Badan Informasi Geospasial menerbitkan Panduan Pembangunan Simpul Jaringan dan tahun 2014 Petunjuk Teknis Pembangunan Simpul Jaringan. Ini merupakan rangkaian proses yang dilakukan pemerintah untuk terbangunnya IDSN yang akan membantu pengelolaan Data Geospasial (DG) dan Informasi Geospasial (IG) dengan lebih baik. DG dan IG yang akurat dapat mudah ditemukan dan selanjutnya digunakan secara bersama‐sama sehingga nilai manfaatnya bagi pembangunan nasional dapat maksimal.
KESIMPULAN
1. Indonesia termasuk negara yang masuk dalam kategori pengadopsi awal
konsep Infrastruktur Data Spasial (IDS) (Masser, 1998). Inisiatif Infrastruktur
Data Spasial Nasional (IDSN) terintis sejak tahun 2000, dimana Bakorsurtanal
melakukan Rapat koordinator Nasional (Rakornas) yang menghasilkan visi
“Menciptakan Inisiatif Infrastruktur Data Spasial Nasional (IDSN) yang andal di
Indonesia”.
2. Keseriusan pemerintah terhadap kepedulian akan pentingnya sharing data spasial untuk pembangunan
baru terlihat pada tahun 2007 dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 85
tahun 2007 tentang Jaringan Data Spasial Nasional (JDSN), dimana setelahnya
terdapat amandemen dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden No. 27 tahun 2014
tentang Jaringan Informasi Geospasial Nasional (JIGN).
3. Pembangunan clearinghouse atau geoportal yang merupakan bagian dari IDSN di Indonesia ditangani oleh pemerintah melalui Badan Informasi Geospasial (BIG). Geoportal di Indonesia diberi nama Ina-Geoportal (Indonesia-Geospatial Portal). Ina-Geoportal adalah Portal Geospasial Indonesia yang dibangun dengan partisipasi berbagai kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah di Indonesia. Ina-Geoportal diluncurkan pada tanggal 17 Oktober 2011 dalam acara Geospasial untuk Negeri oleh BIG di Sasana Budaya Ganesha, Institut Teknologi Bandung.
DAFTAR PUSTAKA
Amhar, Fahmi. 2007. Infrastruktur Data Spasial Nasional. Melalui
http://www.fahmiamhar.com/2007/08/infrastruktur-data-spasial-nasional.html
diakses pada rabu, 28 Oktober 2015. Pukul. 21.30 WIB
Pengembangan Infrastruktur Data Spasial Nasional. Melalui
http://ristek.go.id/?module=News%20News&id=7952
diakses
pada kamis, 29 Oktober 2015. Pukul. 11.34 WIB
Petunjuk
Teknis Pembangunan Simpul Jaringan tahun 2014.
Yudono, Adi
Pandang. 2014. Portal Data Indonesia, Infrastruktur Data Spasial Nasional
(IDSN) dan Pembangunan Berkelanjutan. Melalui
diakses pada rabu, 28 Oktober 2015. Pukul. 21.45 WIB
No comments:
Post a Comment