A. PENDAHULUAN
Pendaftaran
tanah merupakan suatu proses pencatatan dan pemberian informasi tentang pemilikan
tanah, penggunaan tanah dan status pemilikan. Fungsi pendaftaran tanah menurut United
Nations Economic Commission for Europe: “The function of
land registration is
to provide a safe and certain foundation for
the acquisition, enjoyment and disposal of rights in land”. (United
Nations Economic Commission for Europe, Land Administration Guideline, New
York & Genevs, 1996., hlm. 4).
Pendaftaran Tanah bertujuan :
1. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum
kepada pemegang hak atas
suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan;
2. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang
berkepentingan termasuk Pemerintah
agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun
yang sudah terdaftar; dan
3. untuk
terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. (Harmanses, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Direktorat Jenderal
Agraria, 1981, hlm. 2).
Perkembangan
pendaftaran tanah di Indonesia dari masa penjajahan Belanda sampai
sekarang terbagi menjadi
2 (dua) periode yaitu sebelum
berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, yaitu dari masa penjajahan oleh Verenigde
Oost-Indische Compagnie (Perikatan Kompeni Hindia Timur) dari tahun 1620
sampai dengan tahun
1960 dan sesudah berlakunya
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yaitu dari tahun 1960 sampai
sekarang.
Sebelum
diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria, sebagai akibat dari politik hukum pemerintah jajahan
hukum agraria pada waktu itu mempunyai
sifat dualisme,
yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat di samping
peraturan-peraturan didasarkan atas hukum barat. Hal mana selain menimbulkan pelbagai
masalah antar golongan menjadi serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita
persatuan bangsa karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan
tidak menjamin kepastian hukum. (Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Romawi I). Diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, telah mengakhiri
dualisme di bidang Hukum Agraria di Indonesia khususnya juga di bidang pendaftaran
Tanah.
Pendaftaran
tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor
10 Pasal 19 UUPA diatur lebih lanjut dengan peraturan pelaksanaannya yaitu
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran
Tanah dan Peraturan Menteri Agraria Nomor 6 Tahun 1965 tentang Pedoman-pedoman
Pokok Penyelenggaraan Tahun 1961 selanjutnya telah
disempurnakan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah dan Peraturan Menteri Negara
Agraria / Kepala Badan Pertanahan
Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur dengan jelas tujuan
dari pendaftaran tanah yaitu menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah.
Jaminan kepastian hukum hak-hak atas
tanah meliputi :
a. kepastian hukum atas objek bidang tanahnya, yaitu letak bidang tanahnya, letak batas-batasnya dan luasnya;
b. kepastian hukum atas subjek haknya, yaitu siapa menjadi pemiliknya dan;
c. kepastian hukum atas jenis hak
atas tanahnya.
Kegiatan pendaftaran tanah meliputi 3 komponen yang
saling berkaitan yaitu yuridis/ faktor hukum, teknis geodesi, dan administrasi
pendaftaran tanah. Faktor hukum tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA); Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 (PP 10/1961); Peraturan
Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 (PP 24/1997). Teknis geodesi menjadi penting
karena tidak ada aspek lain dari pendaftaran
tanah menimbulkan
kontroversi kecuali dari letak
batas-batas
pemilikan tanah. (Rowton
Simpson,S., Land Law and Registration, Surveyor Publications, London,
1984, hlm. 125), untuk mendapatkan letak
batas yang akurat dapat diketahui melalui teknis geodesi.
Saat ini hampir semua daerah belum bisa menunjukkan bidang tanah dalam satu peta yang sama. Hal ini menjadi tantangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan seluruh pihak yang bergerak di bidang geodesi untuk mencari solusi bagaimana agar semua bidang tanah dapat tersaji dalam satu peta. Berdasarkan hal tersebut akan dibahas mengenai solusi-solusi yang perlu dilakukan untuk membenahi pendaftaran tanah di Indonesia.
B. PENTINGNYA
ASAS PUBLISITAS DAN ASAS SPESIALITAS
Pendaftaran Tanah di Indonesia mengenal pengumuman
mengenai hak-hak atas tanah yang meliputi
asas publisitas dan asas spesialitas,
dimana keduanya bertujuan untuk menjamin kepastian hukum hak-hak atas
tanah, baik
mengenai subjek maupun objeknya. Asas
publisitas adalah
suatu prinsip bahwa setiap
orang dapat mengetahui semua hak-hak atas tanah dan semua perbuatan hukum mengenai tanah.
Sistem publisitas diselenggarakan dengan suatu daftar umum berupa peta,
daftar tanah, daftar surat ukur, daftar nama, dan daftar buku tanah. Asas spesialitas adalah suatu cara penetapan
batas, sehingga identitas suatu
bidang
tanah menjadi jelas, yaitu jelas lokasi, batas-batas, serta luasnya, oleh karena itu untuk
sistem spesialitas diperlukan penguasaan akan Ilmu Geodesi. Disinilah peran dari semua pihak yang bergerak di
bidang geodesi untuk mengaplikasikan ilmunya.
Berdasarkan asas publisitas
pendaftaran tanah,
peta yang menggambarkan
bidang-bidang tanah yang pernah terdaftar dalam suatu desa atau
kelurahan wajib diinformasikan ke
publik, kepala desa dan kepala kelurahan. Hal ini secara jelas diamanatkan oleh Pasal 190
Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi, “Salinan
peta pendaftaran tanah dari desa/kelurahan yang bidang-bidang tanahnya sudah selesai
didaftar diserahkan kepada Pemerintah Desa/Kelurahan yang bersangkutan dan instansi
lain yang berkepentingan
menurut
ketersediaannya”.
Asas ‘nemo plus juris’ dalam pelajaran pendaftaran tanah kadastral di Indonesia, diajarkan sebagai
asas ‘publisitas’ (publiciteit beginsel)
yaitu pengumuman hasil
ukur berserta gambar bidang tanah dalam peta ukur kepada masyarakat selama jangka
waktu tertentu. Setelah masa
tenggang/tenggat waktu itu lewat
dan tidak ada sangkalan untuk
perbaikan dari pemilik tanah, maka hasil ukur dan gambar bidang tanah itu dianggap
telah sah karena telah diterima baik oleh pemilik tanah yang bersangkutan. Maka
asas publisitas itu pun dihargai sebagai salah satu bentuk pengesahan hukum atas
keabsahan (validita) hasil
ukur,
karena telah diakui dan diterima kebenaran hasilnya oleh pemilik. Padahal, asas
‘nemo plus juris’ yang diwarisi dari ajaran hukum Romawi itu, mengajarkan soal
peralihan hak atas tanah dalam hal ini seorang yang bukan pemilik tanah, tidak
dapat mengalihkan hak yang lebih kuat dan sempurna seperti hak milik (dominium)
kepada orang lain, apabila hak
yang
dimilikinya hanya hak agraria yaitu hak sewa, hak
pakai, atau hak pinjam
pakai, dan sebagainya. Jadi ada kekeliruan
tafsir dan kesalahan
penggunaan konsep asas ‘nemo plus juris’ di Indonesia, yang diwarisi dari zaman
Belanda dengan sistim pendaftaran negatifnya. (Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan
Agraria, STPN Press, Yogyakarta,
2012, hlm. 125).
Apabila
terdapat permohonan pendaftaran hak atas tanah di desa-desa yang pendaftaran
tanahnya belum diselenggarakan secara lengkap dapat pula dibukukan dalam daftar
Buku Tanah. Untuk membukukan hak tersebut kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah
harus disampaikan surat atau surat-surat bukti hak dan
Keterangan Kepala Desa yang dikuatkan Camat, yang membenarkan surat atau
surat bukti hak itu. (Pasal 18 ayat (1) Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961).
Pendaftaran tanah secara tidak
lengkap hanya meliputi pendaftaran hak,
hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961. Penyelenggaraan pendaftaran tanah secara tidak lengkap
dengan sendirinya
tidak dapat menjamin kepastian hukum mengenai letak serta batas-batas bidang tanah objek hak yang telah didaftarkan, hanya kepastian hukum mengenai orang atau badan
hukum pemegang hak, demikian pemahaman selama ini. Kepastian
orang atau badan hukum pemegang hak tanpa kepastian hukum letak batas-batas
bidang tanah jelas tidak menjamin kepastian hukum dari pemilikan tanah
tersebut yang menjadi tujuan dari pendaftaran tanah itu sendiri. Kepada pemegang hak diberikan Sertipikat
Sementara, yaitu Sertipikat
tanpa Surat Ukur yang mempunyai fungsi sebagai Sertipikat dan mempunyai kekuatan
sebagai Sertipikat. (Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah
Nomor 10 Tahun 1961).
. Sertipikat Sementara merupakan sertipikat tanpa Surat Ukur mempunyai kekuatan sebagai sertipikat, kalimat ini harus benar-benar dipahami. Kepastian hukum dalam pendaftaran hak atas tanah tidak mungkin diwujudkan tanpa diawali dengan kepastian hukum objeknya terlebih dahulu. Sertipikat Sementara mempunyai kekuatan sebagai sertipikat ini banyak tidak dipahami oleh pelaksana pendaftaran tanah pada waktu itu, akhirnya banyak sertipikat diterbitkan tanpa Surat Ukur. Ada salah pengertian tentang Sertipikat Sementara, yaitu tanpa Surat Ukur, seolah-olah tidak perlu Surat Ukur, seharusnya ada bentuk lain yang berwujud sebagai Surat Ukur yang mengambarkan bidang tanah dan letak batas-batasnya, karena Surat Ukur merupakan usaha memenuhi asas spesialitas untuk menuju kepastian hukum atas objek bidang tanah.
Kesalahan
pemahaman atau salah menafsirkan aturan hukum ini tidak berlangsung lama,
selanjutnya sertipikat sementara tanpa
Surat Ukur harus dilengkapi
Gambar Situasi diatur Peraturan Menteri
Agraria Nomor 6 Tahun 1965
tentang Pedoman-Pedoman Pokok Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah Sebagaimana Diatur
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. (Kutipan Disertasi Dr. Ir. Tjahjo
Arianto, SH., M.Hum).
C. KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan salah
satu cara untuk membenahi pendaftaran tanah di Indonesia dengan lebih
memperhatikan asas publisitas dan spesialitas. Asas publisitas disini agar
semua pihak (masyarakat, desa/kelurahan) mengetahui, akan lebih baik jika
informasi peta pendaftaran tanah memanfaatkan Geoportal, dimana saat ini Badan Informasi Geospasial (BIG) sesuai
dengan UUIG sebagai simpul jaringan. Dengan adanya Geoportal khusus pendaftaran tanah yang berisi informasi, hasil
ukur, dan gambar bidang tanah maka terciptanya keterbukaan informasi dan satu peta
akan lebih mudah. Sedangkan untuk asas spesialitas, pemerintah seharusnya tidak
hanya mengedepankan aspek yuridis saja dimana lebih banyak merekrut yang
memiliki keahlian di bidang hukum, tetapi harus lebih banyak merekrut yang
memiliki keahlian teknis di bidang geodesi.
DAFTAR PUSTAKA
Harmanses, Pendaftaran Tanah di Indonesia,
Direktorat Jenderal Agraria, 1981, hlm. 2
Herman Soesangobeng,
Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan
Agraria, STPN Press, Yogyakarta,
2012, hlm. 125
Kutipan
Disertasi Dr. Ir. Tjahjo Arianto, SH., M.Hum
Penjelasan
Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Romawi I
Peraturan
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961
Rowton Simpson,S., Land
Law and Registration, Surveyor Publications, London, 1984, hlm. 125
United Nations Economic Commission for Europe, Land Administration Guideline, New York & Genevs, 1996., hlm. 4
No comments:
Post a Comment