navigasi

Tuesday, March 7, 2023

Tugas Makalah Administrasi dan Kebijakan Pertanahan - Membenahi Pendaftaran Tanah di Indonesia

 



A.    PENDAHULUAN

Pendaftaran tanah merupakan suatu proses pencatatan dan pemberian informasi tentang pemilikan tanah, penggunaan tanah dan status pemilikan. Fungsi pendaftaran tanah menurut United Nations Economic Commission for Europe: The function of land registration is to provide a safe and certain foundation for  the acquisition, enjoyment and disposal of rights in land”. (United Nations Economic Commission for Europe, Land Administration Guideline, New York & Genevs, 1996.,  hlm.  4).

Pendaftaran Tanah bertujuan :

1. untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan;

2. untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; dan

3. untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. (Harmanses, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Direktorat Jenderal Agraria, 1981, hlm.  2).

Perkembangan pendaftaran tanah di Indonesia dari masa penjajahan Belanda sampai sekarang  terbagi menjadi 2 (dua) periode yaitu sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, yaitu dari masa penjajahan oleh Verenigde Oost-Indische Compagnie (Perikatan Kompeni Hindia Timur) dari tahun 1620 sampai dengan tahun 1960 dan sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 yaitu dari tahun 1960 sampai sekarang.

Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, sebagai akibat dari politik hukum pemerintah jajahan hukum agraria pada waktu itu  mempunyai sifat dualisme, yaitu dengan berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat di samping peraturan-peraturan didasarkan atas hukum barat. Hal mana selain menimbulkan pelbagai masalah antar golongan menjadi serba sulit, juga tidak sesuai dengan cita-cita persatuan bangsa karena bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan tidak menjamin kepastian hukum. (Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Romawi I). Diundangkannya  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, telah mengakhiri dualisme di bidang Hukum Agraria di Indonesia khususnya juga di bidang pendaftaran Tanah.

Pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam Peraturan  Pemerintah Nomor 10 Pasal 19 UUPA diatur lebih lanjut dengan peraturan pelaksanaannya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 10  Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri   Agraria Nomor 6 Tahun 1965 tentang Pedoman-pedoman Pokok Penyelenggaraan Tahun 1961  selanjutnya telah disempurnakan  dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan  Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

Peraturan Pemerintah Nomor 10  Tahun 1961 maupun Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah mengatur dengan jelas tujuan dari pendaftaran tanah yaitu menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah. Jaminan kepastian hukum  hak-hak atas tanah meliputi :

a. kepastian hukum atas objek bidang tanahnya, yaitu letak bidang tanahnya, letak   batas-batasnya dan luasnya;

b. kepastian hukum atas subjek haknya, yaitu siapa menjadi pemiliknya dan;

c. kepastian hukum atas jenis hak atas tanahnya.

Kegiatan pendaftaran tanah meliputi 3 komponen yang saling berkaitan yaitu yuridis/ faktor hukum, teknis geodesi, dan administrasi pendaftaran tanah. Faktor hukum tertuang dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA); Peraturan Pemerintah Nomor 10 tahun 1961 (PP 10/1961); Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 (PP 24/1997). Teknis geodesi menjadi penting karena tidak ada aspek lain dari pendaftaran tanah menimbulkan kontroversi kecuali dari letak batas-batas pemilikan tanah. (Rowton Simpson,S., Land Law and Registration, Surveyor Publications, London, 1984, hlm. 125), untuk mendapatkan letak batas yang akurat dapat diketahui melalui teknis geodesi.

 Saat ini hampir semua daerah belum bisa menunjukkan bidang tanah dalam satu peta yang sama. Hal ini menjadi tantangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan seluruh pihak yang bergerak di bidang geodesi untuk mencari solusi bagaimana agar semua bidang tanah dapat tersaji dalam satu peta. Berdasarkan hal tersebut akan dibahas mengenai solusi-solusi yang perlu dilakukan untuk membenahi pendaftaran tanah di Indonesia.

 

B.    PENTINGNYA ASAS PUBLISITAS DAN ASAS SPESIALITAS

Pendaftaran Tanah di Indonesia mengenal pengumuman mengenai hak-hak atas tanah yang meliputi asas publisitas dan asas spesialitas, dimana keduanya bertujuan  untuk menjamin kepastian hukum hak-hak atas tanah, baik mengenai subjek maupun objeknya. Asas publisitas adalah suatu prinsip bahwa setiap orang dapat mengetahui semua hak-hak atas tanah dan semua perbuatan hukum mengenai tanah. Sistem publisitas diselenggarakan dengan suatu daftar umum berupa peta, daftar tanah, daftar surat ukur, daftar nama, dan daftar buku tanah. Asas spesialitas adalah suatu cara penetapan batas, sehingga identitas suatu bidang tanah menjadi jelas, yaitu jelas lokasi, batas-batas, serta luasnya, oleh karena itu untuk sistem spesialitas diperlukan penguasaan akan Ilmu Geodesi. Disinilah peran dari semua pihak yang bergerak di bidang geodesi untuk mengaplikasikan ilmunya.

Berdasarkan asas publisitas pendaftaran tanah, peta yang menggambarkan bidang-bidang tanah yang pernah terdaftar dalam suatu desa atau kelurahan wajib diinformasikan ke publik, kepala desa dan kepala kelurahan. Hal ini secara jelas diamanatkan oleh Pasal 190 Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi, “Salinan peta pendaftaran tanah dari desa/kelurahan yang bidang-bidang tanahnya sudah selesai didaftar diserahkan kepada Pemerintah Desa/Kelurahan yang bersangkutan dan instansi lain yang berkepentingan menurut ketersediaannya”.

Asas ‘nemo plus juris’ dalam pelajaran pendaftaran tanah kadastral di  Indonesia, diajarkan  sebagai  asas ‘publisitas’ (publiciteit beginsel) yaitu  pengumuman  hasil  ukur berserta  gambar bidang tanah dalam  peta ukur kepada masyarakat  selama jangka  waktu tertentu. Setelah  masa tenggang/tenggat  waktu  itu lewat  dan tidak  ada sangkalan untuk perbaikan dari pemilik tanah, maka hasil ukur dan gambar bidang tanah itu dianggap telah sah karena telah diterima baik oleh pemilik tanah yang bersangkutan. Maka asas publisitas itu pun dihargai sebagai salah satu bentuk pengesahan hukum atas keabsahan (validita) hasil ukur, karena telah diakui dan diterima kebenaran hasilnya oleh pemilik. Padahal, asas ‘nemo plus juris’ yang diwarisi dari ajaran hukum Romawi itu, mengajarkan soal peralihan hak atas tanah dalam hal ini seorang yang bukan pemilik tanah, tidak dapat mengalihkan hak yang lebih kuat dan sempurna seperti hak milik (dominium) kepada orang lain, apabila hak yang dimilikinya  hanya hak agraria yaitu hak  sewa, hak  pakai, atau  hak  pinjam  pakai,  dan sebagainya. Jadi ada kekeliruan tafsir dan kesalahan penggunaan konsep asas ‘nemo plus juris’ di Indonesia, yang diwarisi dari zaman Belanda dengan sistim pendaftaran negatifnya. (Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria, STPN Press, Yogyakarta, 2012, hlm. 125).

Apabila terdapat permohonan pendaftaran hak atas tanah di desa-desa yang pendaftaran tanahnya belum diselenggarakan secara lengkap dapat pula dibukukan dalam daftar Buku Tanah. Untuk membukukan hak tersebut kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah harus disampaikan surat atau surat-surat bukti hak dan Keterangan Kepala Desa yang dikuatkan Camat, yang membenarkan surat atau surat bukti hak itu. (Pasal 18 ayat (1)  Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961).

 Pendaftaran tanah secara tidak lengkap hanya meliputi pendaftaran hak, hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 16 ayat (2) dan Pasal 18 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. Penyelenggaraan pendaftaran tanah secara tidak lengkap dengan sendirinya tidak dapat menjamin kepastian hukum mengenai letak serta batas-batas bidang tanah objek hak yang telah didaftarkan, hanya kepastian hukum mengenai orang atau badan hukum  pemegang hak, demikian pemahaman selama ini. Kepastian orang atau badan hukum pemegang hak tanpa kepastian hukum letak batas-batas bidang tanah jelas tidak menjamin kepastian hukum dari pemilikan tanah tersebut yang menjadi tujuan dari pendaftaran tanah itu sendiri.  Kepada pemegang hak diberikan Sertipikat Sementara, yaitu Sertipikat tanpa Surat Ukur yang mempunyai fungsi sebagai Sertipikat dan mempunyai kekuatan sebagai Sertipikat. (Pasal  17 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun  1961).

Sertipikat Sementara merupakan sertipikat tanpa Surat Ukur mempunyai kekuatan sebagai sertipikat, kalimat ini harus benar-benar dipahami. Kepastian hukum dalam pendaftaran hak atas tanah tidak mungkin diwujudkan tanpa  diawali dengan kepastian hukum objeknya terlebih dahulu. Sertipikat Sementara mempunyai kekuatan sebagai sertipikat ini banyak tidak dipahami oleh pelaksana pendaftaran tanah pada waktu itu, akhirnya banyak sertipikat diterbitkan tanpa Surat Ukur. Ada salah pengertian tentang Sertipikat Sementara, yaitu tanpa Surat Ukur,  seolah-olah tidak perlu Surat Ukur, seharusnya ada bentuk  lain yang berwujud  sebagai Surat  Ukur yang mengambarkan bidang tanah dan letak batas-batasnya, karena Surat Ukur merupakan   usaha memenuhi asas spesialitas untuk menuju kepastian hukum atas objek bidang tanah.  

Kesalahan pemahaman atau salah menafsirkan aturan hukum ini tidak berlangsung lama, selanjutnya sertipikat sementara tanpa  Surat Ukur harus dilengkapi Gambar Situasi  diatur Peraturan Menteri Agraria Nomor 6 Tahun 1965 tentang Pedoman-Pedoman Pokok Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah Sebagaimana Diatur Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961. (Kutipan Disertasi Dr. Ir. Tjahjo Arianto, SH., M.Hum).

 

C.    KESIMPULAN

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan salah satu cara untuk membenahi pendaftaran tanah di Indonesia dengan lebih memperhatikan asas publisitas dan spesialitas. Asas publisitas disini agar semua pihak (masyarakat, desa/kelurahan) mengetahui, akan lebih baik jika informasi peta pendaftaran tanah memanfaatkan Geoportal, dimana saat ini Badan Informasi Geospasial (BIG) sesuai dengan UUIG sebagai simpul jaringan. Dengan adanya Geoportal khusus pendaftaran tanah yang berisi informasi, hasil ukur, dan gambar bidang tanah maka terciptanya keterbukaan informasi dan satu peta akan lebih mudah. Sedangkan untuk asas spesialitas, pemerintah seharusnya tidak hanya mengedepankan aspek yuridis saja dimana lebih banyak merekrut yang memiliki keahlian di bidang hukum, tetapi harus lebih banyak merekrut yang memiliki keahlian teknis di bidang geodesi.

  

DAFTAR PUSTAKA

Harmanses, Pendaftaran Tanah di Indonesia, Direktorat Jenderal Agraria, 1981, hlm. 2

Herman Soesangobeng, Filosofi, Asas, Ajaran, Teori Hukum Pertanahan, dan Agraria, STPN Press, Yogyakarta, 2012, hlm. 125

Kutipan Disertasi Dr. Ir. Tjahjo Arianto, SH., M.Hum

Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Romawi I

Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun  1961

Rowton Simpson,S., Land Law and Registration, Surveyor Publications, London, 1984, hlm. 125

United Nations Economic Commission for Europe, Land Administration Guideline, New York & Genevs, 1996., hlm. 4

No comments: